Merayakan Ulang Tahun Menurut Islam

Seperti kita ketahui bersama bahwa budaya ulang tahun dalam segala bentuknya tidak pernah disyari'atkan Islam, apakah itu memberi ucapan dan hadiah maupun sekedar menerimanya. 
Yang pasti diketahui bahwa Nabi SAW tidak pernah merayakan hari lahir beliau seumur hidupnya, tidak pernah memerintahkan juga tidak

Lihat juga ARTIKEL lainnya disini


pernah mendiamkan perbuatan tersebut. Bahkan tidak ada seorang sahabat pun yang melakukannya. Begitu juga para Khulafaa-ur Raasyidin, para ulama, baik terdahulu (salaf) maupun kontemporer (khalaf). Jadi bila beliau semua diatas tidak pernah melakukannya, maka kenapa kita sebagai generasi muda Islam yang masih kurang ilmu, kurang pengalaman dan kurang bimbingan dari para ulama melakukannya? Padahal seandainya perbuatan tersebut baik, niscaya beliau semua yang terlebih dulu melaksanakannya sebagai bentuk kecintaan pada sunnah Nabi SAW.
                                                                          
Pertanyaan:

“Kalau bukan berasal dari Islam, maka bagaimana hukum merayakannya menurut Islam?”

Untuk menjawab pertanyaan diatas, kiranya cukuplah fatwa dari dua Syaikh besar yang diakui dunia dan termasuk dalam anggota majlis fatwa ulama dunia, yaitu Syaikh Utsaimin dan Syaikh Bin Baaz Rahimahumullah.

 “Tidak pernah ada dalam syari’at tentang perayaan dalam Islam, kecuali pada:
- Hari Jum’at yang merupakan I’ed (hari raya) mingguan

- Hari pertama bulan Syawal yang disebut I’edul Fitri

- Hari kesepuluh bulan Dzulhijjah atau disebut I’edul Adh-ha atau sering disebut I’edul A’rafah (penamaan yang kedua ini khusus untuk orang yang berhaji di A’rafah.

- Hari Tasyriq (yaitu tiga hari sesudah hari kesepuluh tersebut: hari ke 11, 12 dan 13 pada bulan yang sama dengan I’edul Adh-ha). Hari Tasyriq merupakan hari I’ed yang menyertai Iedul Adh-ha).

Perihal hari lahir orang-orang atau anak-anak atau hari perkawinan dan
semacamnya, semua itu tidak disyariatkan dalam Islam, serta merupakan bid’ah yang sesat.

Sumber:
- Syaikh Muhammad Shalih Al U’tsaimin. Al-bid'u wal-muhdatsaat wa maa laa aslalahu. Hal 224.
- Fataawa fadhilatusy syaikh Muhammad Shalih Al U’tsaimin. Jilid 2. Hal 302.

Mengadakan perayaan untuk memperingati hari lahir tidak bisa terlepas dari dua hal:

1. Bisa jadi hal itu sebagai ibadah

2. Bisa jadi hal itu dimaksudkan sebagai adat istiadat.

Jika dimasukkan sebagai ibadah, maka akan terjatuh pada hukum termasuk bid’ah (mengadakan perkara dalam agama yang tidak terdapat contohnya). Nabi SAW melarang mengadakan perbuatan bid’ah karena bid’ah termasuk dari kesesatan. Beliau bersabda:

“Hati-hatilah kalian dari mengadakan perkara-perkara yang baru dalam agama karena sesungguhnya setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah sesat, dan setiap kesesatan berada dalam api neraka”.
(HR Abu Dawud, Tirmizi dan Ibnu Majah dalam Sunan beliau semua).

Jika perayaan itu dianggap sebagai adat istiadat dan budaya, maka akan terkena pada dua hukum larangan. Pertama karena menganggap suatu hari yang bukan hari raya Islam sebagai hari raya. Perbuatan dan keyakinan tersebut termasuk kategori lancang kepada Allah dan Rasul-Nya untuk menetapkan sesuatu (baik sadar dan sengaja maupun tidak) yang Allah dan Rasul-Nya tidak pernah menetapkannya

Saat tiba di Madinah dari Makkah, Rasul SAW menjumpai kaum Anshar merayakan dua hari raya, mereka bergembira dan bersenang-senang dengan hari raya tersebut. Kemudian Rasul SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah mengganti bagi kalian hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu hari raya I’edul Fitri dan hari raya I’edul Adh-haa.
(HR Nasai).

Adapun larangan kedua adalah perayaan hari ulang tahun itu menyerupai orang-orang kafir, sebab adat istiadat perayaan ultah ini bukan termasuk adat istiadat kaum muslimin, melainkan adat istiadat yang diwarisi dari orang kafir. Sebagaimana Sabda Rasul SAW:

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongannya”.

Salah satu hikmah dari dilarangnya perayaan hari lahir adalah karena menurut sebagian besar ulama bertambahnya umur seseorang bukanlah hal terpuji, melainkan dalam keridaan Allah dan ketaatan kepada-Nya. Maka sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya serta baik amal perbuatannya, dan sejelek-jelek manusia adalah yang panjang umurnya serta jelek amal perbuatannya.

Karena sebab diataslah sebagian besar ulama memakruhkan doa meminta umur panjang, baik doa untuk diri sendiri maupun mendoakan orang lain

Berdasarkan sebagian besar riwayat, disebutkan bahwa perayaan hari kelahiran diadakan pertama kali pada abad ke-4 hijriah oleh kaum syi’ah Fathimiyyah yang kemudian diikuti oleh sebagian kaum sunni hingga menyebarlah hal tersebut secara luas sampai hari ini.

Pertanyaan lanjutan:

“Kalau perayaan hari kelahiran dirayakan dengan berdoa mensyukuri nikmat Allah atas umur dan semua anugerah-Nya sepanjang hidup kita serta memohon keselamatan dunia akhirat, bukan dengan bentuk perayaan pada umumnya, bagaimana menurut syariat?

Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa perayaan hari kelahiran bukan berasal dari ajaran Islam, maka mengadakan perkara yang tidak ada tuntunan dari Syariat Islam akan tertolak walaupun dimaksudkan untuk kebaikan, sebagimana dijelaskan dalam hadits.

“Barangsiapa melakukan perbuatan (dalam agama) yang tidak berdasarkan perintah dari kami, maka (perbuatannya tersebut) tertolak”.
(HR.Muslim)

Adapun mensyukuri nikmat Allah atas umur dan semua anugerah-Nya sepanjang hidup kita serta memohon keselamatan dunia akhirat, tidak harus menunggu waktu ulang tahun tiba yang hanya sekali setahun, melakukan hal tersebut (bersyukur atas nikmat, dan berdoa) harus kita lakukan setiap saat, bahkan dikuatirkan mengadakan pengkhususan aktifitas tersebut pada hari ulang tahun merupakan perkara yang menyelisihi Islam dan sekali lagi merupakan bentuk pengekoran kita kepada ajaran kafir.

InsyaAllah ada baiknya bila kita renungkan sabda Nabi SAW berikut ini:

“Sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (jalan hidup) bangsa-bangsa sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Hingga seandainya mereka masuk lubang biawak sungguh kalian akan memasukinya” Para Shahabat RA bertanya: “apakah yang anda maksud adalah Yahudi dan Nasrani?”. Beliau SAW menjawab: “Lalu siapa lagi?”
(HR.Bukhori dan Ahmad)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...